Oleh : Hilda Septriani (*)
Novelisasi ialah pemindahan, perubahan bentuk, atau proses adaptasi sebuah film ke dalam novel. Novelisasi pada dasarnya adalah adaptasi, namun tetap memiliki kesahihan yang sama dengan karya baru dan tidak bisa dianggap sebagai degradasi dari karya aslinya, karena media yang digunakan jelas berbeda. Fenomena ini telah dimulai sejak tahun 70’an dalam dunia perfilman Hollywood, ketika film-film sukses saat itu dengan segera dituangkan lewat kata-kata ke dalam sebuah novel dengan gaya penulisan yang setia, dengan kata lain hanya sekadar menuliskan kembali cerita film tersebut. Pada saat itu, novel hasil novelisasi tidak lebih dari sebuah cenderamata film. Sedangkan di Indonesia proses novelisasi baru muncul sekitar tahun 1986 dan sayangnya tidak begitu fenomenal. Damono dalam Alih Wahana (2012:105) menyatakan bahwa dalam proses novelisasi, tuntutan untuk setia pada cerita, eksplorasi bisnis dan prediksi keuntungan merupakan pertimbangan yang bersifat mutlak, sehingga dalam proses ini karya sastra yang dialih wahanakan tetap mempertahankan wajah aslinya, tetap bulat dengan keutuhan cerita tanpa melewati proses perubahan yang berarti.
Hal ini lah yang terjadi pada film Biola Tak Berdawai. Biola Tak Berdawai (2003) adalah sebuah film berdurasi satu jam 37 menit yang disutradarai Sekar Ayu Asmara dan diproduksi oleh PT Kalyana Shira Film. Film ini berhasil meraih beberapa penghargaan diantaranya The Naguib Mahfouz Prize Festival Film Internasional Kairo 2003, Aktris Terbaik Festival Film Asia Pasifik di Shiraz, Iran, serta Film Terbaik, Aktor Terbaik dan Musik Terbaik Festival Film Internasional Bali. Berangkat dari apresiasi luar biasa yang diberikan kepada film tersebut, dua tahun setelahnya yakni pada tahun 2004, Seno Gumira Ajidarma menovelisasikan film ini dengan judul yang sama.
Biola Tak Berdawai di Film dan Novel
Pada dasarnya, novelisasi mengacu pada skenario film. Skenario sendiri ditulis sebagai pedoman adegan-adegan dalam film. Adegan yang diungkapkan secara visual di dalam film kemudian dipindahkan / diungkapkan kembali melalui rangkaian kata yang disusun seindah mungkin oleh seorang novelis. Seno sangat memiliki totalitas yang sangat tinggi dalam hal ini, ia mampu menuliskan hal yang menarik lewat keindahan dan kekayaan bahasa sehingga menggugah imajinasi pembaca dalam menggambarkan setiap baris kalimat yang tertulis dalam novelnya. Contohnya saja deskripsi ruangan lilin yang dalam film hanya berupa sebuah ruangan yang dipenuhi dengan lilin dalam suatu rak, namun di dalam novel ruangan lilin itu justru digambarkan secara rinci sehingga membuat pembaca tertarik dan mampu menggambarkan sendiri ruangan tersebut dengan suasana yang jauh lebih indah jika dibandingkan dengan apa yang visualisasikan dalam film. Seperti yang tergambar dalam kutipan berikut:
“Ada sebuah ruangan yang penuh lilin di rumah ibuku, karena itu disebut Ruang Lilin. Sebetulnya lampu listrik bisa saja menerangi ruangan itu, namun memang bukan sekadar terang yang dikehendaki pemasang lilin itu, melainkan terangnya lilin. Ruangan itu dipenuhi lilin, seratus menyala di sekeliling ruang dan di tengah ruangan terdapat meja di mana tampak seorang perempuan bermain kartu. Demikianlah bila malam tiba, ruang itu akan menyala dengan terang kekuningan yang menyepuh suasana.” (Hal. 15)
Pemindahan atau penyederhanaan adegan-adegan dalam film seperti yang digambarkan di atas, akan menyebabkan munculnya perubahan dan perbedaan dari berbagai segi dengan novelnya. Perubahan dan perbedaan yang paling banyak ditemukan dalam proses novelisasi yaitu dari segi plot cerita berupa penambahan atau pengurangan bagian tertentu dalam film, walaupun secara keseluruhan dapat dilihat bahwa alur dalam film maupun novel dari awal hingga akhir sama. Hal ini diserahkan kembali pada kepentingan kedua media tersebut. Film merupakan media visual sehingga menuntut penggambaran setiap bagian cerita dengan jelas sedangkan novel merupakan media teks yang menuntut deskripsi lebih rinci pada setiap bagian untuk merangsang imajinasi pembaca (Damono, 2012 : 103).
Perbedaan mendasar dapat dianalisis dari segi sudut pandang. Nampaknya Seno sengaja memilih sudat pandang novel yang diadaptasinya dari tokoh Dewa, seorang anak tunadaksa yang hampir muncul dari awal hingga berakhirnya cerita. Dewa digambarkan dengan sosok yang serba tahu keseluruhan isi cerita, tahu dengan segala dunianya, bahkan ia mengerti kisah pewayangan yang banyak diceritakan di dalam novel Biola Tak Berdawai ini. Jika pada filmnya, tokoh Renjani yang menjadi sentral penggerak cerita, lain halnya dengan yang ada dalam novelnya. Dewa menjadi tokoh penting untuk menjadi wakil Seno dalam memberikan kebebasan dalam menggambarkan cerita karena jika cerita ini dikisahkan dari sudut pandang Renjani maka otomatis akan berhenti seiring dengan kematian yang dialami oleh Renjani tersebut. Hal ini sudah dapat diteliti dari petikan di awal cerita.
“Namaku Dewa. Sebetulnya aneh sekali aku diberi nama Dewa, karena bukankah dewa adalah makhluk sakti mandraguna yang sangat berkuasa? Sedangkan aku, apalah kekuasaanku selain menerbitkan belas kasihan sesama manusia? (Hal. 7)
Selain itu, Seno juga mengembangkan bagian-bagian cerita yang tidak terlalu dianggap penting oleh sutradara film Biola Tak Berdawai ini. Jika di dalam film, adegan tersebut hanya diperlihatkan melalui beberapa dialog singkat, lain halnya dengan novelnya yang mengangkatnya menjadi sebuah cerita yang menarik untuk dibaca. Contoh adegannya yakni ketika Mbak Wid mengatakan bahwa mungkin saja Dewa adalah sebuah kerang di masa lalunya. Dialog Mbak Wid diucapkan seperti berikut dalam filmnya.
“Kamu bilang tadi Dewa memegang kerang? Mungkin itu karmanya, mungkin itu pertanda… dia sedang berjalan ke alam lain. Mungkin di kehidupan sebelumnya Dewa terlahir sebagai kerang.” (Asmara : 2002)
Dialog itu dibiarkan saja berhenti sampai di situ sehingga menimbulkan interpretasi bebas penontonnya. Akan tetapi, Seno mampu menarasikan cerita tersebut dengan sangat piawai dengan menggambarkan analogi seorang anak yang tunadaksa dengan sebuah kerang yang terisolasi dalam rumahnya yang sempit. Hal ini dapat dilihat dari kutipan narasi sebagai berikut:
“Rasanya ingin percaya aku dulu adalah kerang yang hanya diam di tempat tak bisa berjalan. Hanya bisa mengangkat dan menutup dinding seperti mulut yang terbuka dan tertutup jika ada makanan. Rasanya ingin percaya, jika dipikirkan betapa kehidupanku sekarang juga seperti kerang, hanya diam di tempat dan hanya bergeser karena tergeser ombak di dasar lautan. Aku sekarang berada di dalam rumah kerang. Penuh dengan keheningan.” (Hal. 49)
Selain itu, Seno juga menambah rentetan perbedaan dalam menggambarkan masa lalu Mbak Wid yang ternyata ibunya adalah seorang pelacur yang sudah menggugurkan kandungannya selama enam kali. Alur yang digunakan ketika mengisahkan masa kecil tokoh Mbak Wid ini tentunya alur mundur. Perbedaan yang cukup signifikan dari adegan ini yaitu ketika ada tamu yang tidak lain adalah pelanggan ibunya sendiri berkata kepadanya secara langsung. Berikut penggalan dialognya:
“Seorang tamu yang baru keluar kamar, sambil bergelayutan di tubuh ibuku suatu hari berkata ketika melihat aku membaca komik itu: ‘Hmm. Kamu sudah sampai bagian Pandawa dibuang ke hutan bersama Drupadi? Haha! Asal tahu saja ibumu juga seperti Drupadi lho!’ Ibuku mencubitnya dan ia tertawa mesum, tapi hatiku sakit sekali. Aku tahu maksudnya, seperti Drupadi yang suaminya lima, maka sumber kehidupan ibuku juga dari banyak laki-laki. (Hal. 63)
Dalam film, ketika ada seorang laki-laki yang sedang berjalan keluar dari kamar dengan dipapah oleh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Mbak Wid, mereka tidak sempat mengobrol dengan anak kecil (Mbak Wid) yang sedang membaca komik Mahabharata yang sudah dibacanya berkali-kali sampai ia hafal isi ceritanya. Sejak saat itu, kisah Mahabharata terpatri dalam otak Mbak Wid sehingga ia selalu menghubungkan kehidupannya dengan tokoh-tokoh atau cerita pewayangan tersebut.
Dari Kartu Tarot sampai Mitologi Pewayangan
Dalam film dan novel Biola Tak Berdawai ada seorang tokoh yang memiliki karakteristik yang cukup khas yakni Mbak Wid. Di siang hari ia merupakan seorang dokter anak yang memiliki kewibawaan dan dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugasnya. Namun penampilannya berubah di malam hari seolah seperti gugatan yang ingin ia lampiaskan atas sesuatu di masa lalu.
“Mbak Wid dalam busana hitam kelam seperti malam, dengan rambut bergelombang yang terurai, dengan anting-anting, gelang, cincin dan kalung yang sepeti ingin membuang jauh-jauh citra dokter berbaju putih yang tawar, tenggelan dalam dunia ketidakpastian nasib yang berusaha ditembus oleh kartu-kartu lamaran.” (Hal. 18)
Seperti yang telah digambarkan dalam kutipan di atas, Mbak Wid memang seolah mempunyai dua kepribadian yang berbeda. Di malam hari, Mbak Wid juga selalu meramal dengan kartu tarot yang dimilikinya. Kartu-kartu tarot ini juga dinamakan dengan sebutan kartu-kartu takdir karena dapat menunjukkan bahwa pada hakikatnya kehidupan manusia selalu terarah ke masa depan dan tidak akan pernah bisa dipastikan, mulai dari cinta sampai dengan kematian. Di bawah ini merupakan contoh gambar kartu tarot beserta penafsirannya.
“Cinta. Keindahan. Kesempurnaan. Harmoni. Kebulatan. Percobaan yang teratasi. Keyakinan. Kepercayaan. Kehormatan. Awal dari suatu kemungkinan percintaan. Ketergila-gilaan. Rasa yang dalam. Kecendrungan ke arah optimisme. Lupa akan konsekuensi yang mungkin terjadi. Membiarkan diri terseret. Emosi bebas. dll.” (Hal. 91)
Dalam kedudukannya sebagai novelis, Seno juga menuliskan tafsir dari gambar kartu tarot dengan gambar misterius tersebut yang kerap kali dimainkan oleh tokoh Mbak Wid. Seno mencoba untuk mengubah bentuk visual menjadi literer, dengan memberikan makna tertentu, ia menafsirkan misteri masa depan dalam kartu dengan kekayaan bahasa sebagai salah satu cara untuk bercerita.
Selain kartu tarot, ada juga mitologi pewayangan yang dideskripsikan dengan cukup banyak. Ternyata kisah pewayangan dalam novel Biola Tak Berdawai dapat dibaca tersendiri tanpa membaca keseluruhan cerita dan problematika Renjani karena novelis sendiri memang sengaja menuliskan cerita wayang ini dengan cukup panjang untuk memperjelas jalan cerita. Cerita pewayangan tersebut juga dihadirkan dalam novel untuk menjadi ilmu tambahan kemanusiaan dan sebagai pembanding tokoh yang ada dalam film dan pewayangan. Di bawah ini merupakan beberapa kutipan yang sarat dengan kisah pewayangan Mahabharata:
Mbak Wid, hanya nama itu yang kutahu, menjawab sambil tetap main kartu.
“Hati memang teka-teki yang abadi. Terkadang kuat terkadang lemah. Bayangkan perasaan Gandari yang harus mengubur keseratus anaknya di medan Kurusetra..” (hlm. 15-16).
“Ambil tujuh kartu,” Mbak Wid tidak melayani ketidakpercayaan Bhisma, “kamu tahu, dalam Mahabharata, hanya Bhisma, sama seperti namamu – hanya Bhisma yang diberi kuasa oleh para dewa untuk menentukan sendiri kapan dia mau mati.” (hlm. 113).
Mbak Wid sudah bukan dirinya sendiri, berbicara bagaikan tanpa kesadaran. Ia berteriak-teriak.
“Bima bersumpah akan meminum darah Dursasana. Drupadi bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya sebelum dikeramas dengan darah Dursasana!” (hlm. 159).
Dari kutipan-kutipan di atas menunjukkan bahwa kemunculan kisah pewayangan dalam bab tersendiri dan dicetak dengan huruf miring di dalam novel tidak dapat dilepaskan dengan potongan-potongan cerita yang dikatakan oleh tokoh Mbak Wid. Penulisan dengan tipografi yang berbeda memang digunakan untuk membedakan kisah pewayangan dalam bab tersendiri dengan kisah utamanya. Akan tetapi, kemunculan kisah pewayangan tersebut tidak serta merta dapat muncul begitu saja tanpa adanya pemicu. Pemicu tersebut adalah potongan-potongan kisah pewayangan yang dikatakan oleh Mbak Wid dalam narasi maupun dialog yang ia ucapkan. Dengan demikian, kisah pewayangan dalam novel Biola Tak Berdawai merupakan pelengkap sekaligus memberikan jeda terhadap kisah utama yang terdapat di dalam novel. Yang dimaksud pelengkap karena kisah pewayangan tersebut melengkapi sisi rumpang yang ditinggalkan oleh cerita utama. Kerumpangan tersebut disebabkan oleh penggalan- penggalan cerita yang tidak utuh. Yang dimaksud dengan memberikan jeda adalah kisah pewayangan tersebut menghentikan alur cerita utama sesaat sebelum beranjak ke rentetan peristiwa berikutnya. Fungsi ini berkaitan dengan membuat proses novelisasi menjadi semakin rinci dan ceritanya pun semakin panjang serta menarik minat pembaca.
(*) Penulis kelahiran 12 September 1992 di Bogor. Saat ini tengah menempuh studi Magister Ilmu Sastra di Universitas Padjadjaran Bandung.
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman berita setiap ada berita yang terbit di XPOS NEWS
Jika Anda menyukai Berita ini, Silahkan Print Berita Diatas
Print PDF
Posting Komentar