Oleh : Sandi Muhammad Ilham
Kepala Divisi Penelitian dan Tranformasi Sosial Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Brain (Bogor Raya Institute)
Lahirnya Hari Santri Nasional membawa potensi polarisasi bangsa, ini agenda yang sesungguhnya belum layak jadi prioritas, justru akan mengeras lagi dikotomi santri dan non-santri. Hari santri menjadi kesan eksklusif di tubuh umat muslim khususnya dan bangsa secara keseluruhan termasuk non-muslim. Tidak menutup kemungkinan mereka (non-muslim) juga menginginkan hal yang sama, membuat hari momentum dengan momen yang berasal dari agama masing-masing. Jika usulan terjadi itu pun sah-sah saja.
Melihat sejarah Tanggal 22 Oktober yang sebetulnya diambil dari momentum historis Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama untuk melawan penjajah. Momen ini bukan yang menjadi pertimbangan berat bagi muhammadiyah dan ormas lainnya, termasuk saya. Momen 22 oktober saat ini penyebabnya adalah Ideologi (Agama). Dasar Agama itu bersifat prinsipil, nah inilah karena bersifat prinsipil maka rasanya berat saya harus toleransi terhadap prinsip agama dijadikan momen nasional. Kepribadian santri, Kesolehan, beribadah, dan status keislamannya tidak harus dijadikan memontum nasional, indonesia bukan negara islam walaupun banyak yang beragama islam.
Jika kita melihat peradaban pada etnis tionghoa atau orang Cina di Indonesia yang saat ini menjadi berkembang pesat, Gusdur menjadikan hari momentum Imlek sebagai pemersatu, agar etnis tionghoa di indonesia dapat bersosial dengan baik dan dapat diterima oleh masyarakat pribumi. Sebetulnya bisa saja tokoh besar NU ini melahirkan Hari Santri sebagai momentum nasional, beliau pun rasanya berfikir kearah yang sama bahwa hal ini akan menimbukan perpecahan umat yang menimbulkan potensi polarisasi.
Agenda hari yang menjadi prioritas salah satunya agenda usulan saya, yang dapat dijadikan momentum hari nasional, seperti “Hari Budaya Nasional”, momentum ini dirasa cukup penting mengingat negara kita beranekaragam budaya dengan dalih persatuan indonesia, berbeda-beda namun tetap satu (bhineka tunggal ika). Adapun agenda hari yang sudah di jadikan momentum nasional namun mati tidak lagi di ceremonial kan. misalnya Tanggal 17 Mei menjadi “Hari Buku Nasional” dipilih lebih karena 17 Mei 1950 merupakan tanggal berdirinya Ikatan Penerbit Indonesia alias Ikapi. Disamping itu 29 September dijadikan “Hari Sarjana” hari yang diperlihatkan untuk tujuan peningkatan mutu pendidikan dan indeks pendidikan di indonesia, bisa kita rasakan sampai sekarang jangankan untuk meningkatkan mutu dan indeks pendidikan untuk merayakan dan mengingat hari sarjana pun saya rasa tidak banyak yang tahu. Artinya hari momentum nasional banyak yang tidak penting dan gagal tidak tepat tujuan.
Maksud dalam opini adalah jangan sampai niatnya sudah baik, spiritnya kelihatan bagus, namun sebetulnya ditunggangi orang lain yang sengaja memecah belah ukhuwah islamiyah dengan cara masuk kedalam salah satu kelompok, membesarkan satu kelompok yang akhirnya menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok lain, dan kemudian mengubah ideologi kelompok tersebut hingga berujung berdebatan dan adu argumentasi.
Kita perlu peka dalam kejadian sehari-hari, apalagi ini prinsipil agama dengan status santri dan momen hari nasional. Lahirnya hari santri nasional hanya menjadi gincu politik atau sebagai pemanis buatan disela masyarakat sedang ramai membincangkan keadaan ekonomi yang sedang lemah.
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman berita setiap ada berita yang terbit di XPOS NEWS
Jika Anda menyukai Berita ini, Silahkan Print Berita Diatas
Print PDF
Posting Komentar