Oleh : Sandi Muhammad Ilham
Kepala Divisi Penelitian dan Tranformasi Sosial Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Brain (Bogor Raya Institute)
Kepemimpinan adalah kebutuhan dasar umat manusia, tetapi tidak sembarang pemimpin dapat melakukannya. Kalau begitu, bisa dibayangkan betapa lebih banyak lagi yang dituntut dari seorang pemimpin daerah atau nasional. Tidak heran kalau menemukan pemimpin yang baik itu sangat sukar.
Oleh sebab itu, selama ribuan tahun, tak terhitung banyaknya penobatan, revolusi, kudeta, pelantikan, pemilu, pembunuhan, dan perubahan rezim telah terjadi. Raja, perdana menteri, pangeran, presiden, sekretaris jenderal, dan diktator telah berkuasa silih berganti. Perubahan yang tidak terduga bahkan telah menumbangkan penguasa yang sangat kuat.
Dahulu, kita masih berani bersikap relatif. Kini, mau tak mau harus diakui bahwa kita telah mengalami kemorosotan ekonomi, politik, sampai pada kemerosotan moral secara drastis. Seperti kita ketahui kondisi kepemimpinan di Kabupaten Bogor terlalu dibawa feminin (Gak Laki). Hal ini bukan karena tentang seorang pemimpin wanita namun dari situasinya Kabupaten Bogor sangat lamban untuk mencapai misi secara general yaitu “Menjadi Kabupaten Termaju di Indonesia”.
Banyaknya informasi kurangnya perhatian di sektor kesehatan masih banyak kasus gizi buruk yang belum teratasi dari tahun ke tahun. Mengutip pemberitaan yang masih hangat saat ini yaitu bersumber dari http://publikbogor.id/2015/09/persoalan-gizi-buruk-perlu-peran-multi-sektor/ berikut kutipannya : “Karena kepala keluarga Å£idαk mempunyai pekerjaan tetap dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Belum lagi faktor pendidikan dan perilaku orangtua dalam merawat anak kurang baik, sehingga masalah gizi buruk dapat timbul oleh sebab berbagai faktor. Namun, penyebab mendasar adalah kondisi sosial ekonomi di keluarga, dilihat dari kondisi ekonomi, penderita gizi buruk kebanyakan berasal dari keluarga miskin,” ujar Kepala Bidang Binkesmas Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bogor, Drg. Devi Siregar. Jumat (18 September 2015)
Memahami pada keterangan tersebut bahwa benar adanya jaminan dan layanan kesejahteraan masyarakat terbebas dari gizi buruk belum selesai. Melihat kembali pada targetan Pemerintah Kabupaten Bogor untuk menjadi kabupaten termaju di Indonesia pengujian syarat indeks kesehatan sudah terlihat gagal.
Kita akan coba membandingkan pada beberapa faktor lain, misalnya pada faktor pendidikan seperti sumber yang dikutip dari http://jabar.pojoksatu.id/bogor/2015/10/02/disdik-kabupaten-bogor-salahkan-pemerintah-desa/ berikut kutipannya: Anak-anak Kampung Hanihung, Desa Rabak, Kecamatan Rumpin, terpaksa belajar di bekas rumah yang ditinggal pemiliknya karena tidak ada ruang belajar yang dibangun Pemerintah Kabupaten Bogor. Kepala Desa Rebak, Suherman mengaku sudah mengajukan anggaran pembangunan sekolah di Kampung Hanihung sejak 2010. Namun, Hingga kini belum ada tanggapan. “Kami sudah ajukan, tapi belum ada tanggapan dari Dinas Pendidikan,” katanya. Jumat, (02 Oktober 2015).
Dalam keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar mengajar (KBM) menjadi terganggu atau tidak kondusif. Hal ini sebagai penyebab pendidikan di Kabupaten Bogor tertingal, baik dari kualitas maupun kuantitas. Pendidikan di kabupaten Bogor masih belum memenuhi syarat indeks pendidikan dan dinilai gagal.
Untuk mencoba kembali membandingkan, kita merujuk pada sektor kebutuhan kehidupan layak sejak diluncurkannya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemerintah menetapkan standar KHL sebagai dasar dalam penetapan Upah Minimum seperti yang diatur dalam pasal 88 ayat 4. Pada kasus permasalahan kehidupan layak, kita merujuk pada sektor lapangan pekerjaan sebagai alih status sosial yang pengangguran menjadi status karyawan atau pekerja. seperti sumber pemebritaan di salah satu website media online http://poskotanews.com/2014/05/23/hl-angka-pengangguran-meningkat-di-bogor/ . Kasi Penempatan Tenaga Kerja Dinsosnakertrans Kabupaten Bogor Joko Sumarno mengatakan, dari jumlah penduduk 5,1 juta jiwa, sampai April tercatat 82.000 angkatan kerja. “Kami perkirakan ratusan ribu lainnya masih menganggur,” katanya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor menyebutkan pada 2013 penggangguran mencapai 2.983. 980 jiwa dari jumlah 2.376.505 angkatan kerja. Setiap tahunnya, angka penganguran naik sekitar 0,15 persen. Berdasarkan data ini, Joko mengaku pihaknya pesimis mampu mengurangi pengangguran.
Keterangan dan penjelasan tersebut menyimpulkan bahwa kabupaten Bogor juga gagal dalam indeks kelayakan hidup dari sektor ketahaan ekonomi bawah.
Menuju kabupaten termaju di indonesia, saya menafsirkan bahwa pemerintah terfokus pada IPM-nya saja tidak menoleh kakan kiri faktor penunjang dan faktor pendukung untuk mencapai nilai IPM yang memuaskan.
IPM mengukur pencapaian rata-rata sebuah daerah dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia diantaranya yaitu :
Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran.
Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar , menengah , atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
Standard kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari produk domestik bruto per kapita dalam paritasi daya beli.
Mengutip isi Human Development Report (HDR) pertama tahun 1990, pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki oleh manusia. Diantara banyak pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan, dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak.
Intinya, mampu dan beranikah kita merumuskan ulang tujuan (redefinisi indikator), membangun ulang visi misi (rekontruksi), dan memberikan solusi ulang (resolution) serta dapat menebarkan aroma (pengaruh) unik pemimpin daerah kita sendiri? (misalnya: Bupati seorang wanita, dan Wakil seorang pria).
Apakah Redifinisi mampu merangkum spirit kemajuan ekonomi, ketahanan pangan, kemerdekaan pendidikan, kesejahteraan kesehatan, sampai pada terbebas dari kesenjangan sosial, hanya dengan 1 Pemimpin seorang wanita? Mungkin tak mudah untuk dapat menanggapi rumusan pelik ini, tapi setidaknya kita sudah mulai mempertanyakan kembali untuk keluar dari keterpurukan kondisi (Out Of The Box).
Pengaruhnya, karena tidak adanya penyeimbang dalam menjalan kan roda pemerintahan, seorang wanita yang sangat terbatas dengan ruang dan waktu, dan juga terbatas dari faktor fisik maupun kekuatan batiniyah. Jika terus berlanjut maka passion dan prestasi kinerja pemerintah Kabupaten Bogor akan stagnan atau bahkan luruh lantak yang menyebankan roda pemerintahan yang mati! Bagaimana akan dapat maju bila setiap kebijakan daerah senantiasa di redifinisi menurut versi curhat (curahan hati). Kita seolah terpasung dan kehilangan daya untuk terus maju dan mampu. Maka kita akui Kabupaten Bogor GAGAL menjadi Kabupaten termaju di Indonesia.
Kedepannya, kita sungguh membutuhkan pemimpin (Wakil Bupati) yang “luar biasa” untuk mampu memecahkan masalah kedaerahan. Kami tidak mampu merumuskan atau mem-profilkan pemimpin “luar biasa” itu seperti apa. Tapi jelas, pemimpin seperti itu membutuhkan keberanian moral integratif. Pemimpin yang paling mungkin diterima dan didukung oleh segenap lapisan masyarakat. Pemimpin yang tidak tersandera oleh masa lalu (profil tanpa Korupsi) dan yang mampu mendorong rakyatnya untuk selalu mau berubah.
Majulah Kabupatenku!
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman berita setiap ada berita yang terbit di XPOS NEWS
Jika Anda menyukai Berita ini, Silahkan Print Berita Diatas
Print PDF
Posting Komentar