XPOSNEWS.com, (Sukajaya) - Abah Sukardi kokolot (tetua adat) Kampung Urug Tonggoh, Desa Urug Kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor mengaku sangat malu menjadi kasepuhan Kampung Urug, karena kampung yang dikenal sebagai salah satu situs budaya adat tersebut sudah kehilangan maknanya.
Semua tetekon (aturan) karuhun sudah ditinggalkan oleh para pemanggku adat Hal itu diungkapkan Abah Ukar di rumahnya, Senin (28/9/15).
“Jangankan menjadi kokolot (tetua adat-red) jadi warga biasa saja saya merasa malu, apa lagi di persimpangan jalan masuk tertulis besar sekali papan nama Situs Budaya Kampung Urug.
Apa yang dibanggakan di Kampung Urug saat ini, tak ada bedanya dengan kampung–kampung lainya,”tegasnya.
Secara historis, lanjut dia, yang harus dipelihara dan dilestarikan dari para leluhur Kampung Urug adalah budaya pertanian, sebab kata Urug yang dibaca dibalik menjadi Guru sangat erat kaitannya dengan dunia tersebut.
Hal ini tersirat dalam sejarah Kampung Urug yang selalu dikisahkan dalam setiap upacara Seren Taun. Menurut Abah Ukar, Nyi Sri Pohaci yang mendapatkan menstruasi pada hari Jumat, baru ketahuan pada hari Minggu oleh ayahnya (Eyang Prabu) kemdian darah tersebut baru disiram dan mengenai tanah pada hari Senin.
“Di Jumat warga Kampung Urug dilarang ke sawah atau ladang, hari Minggu tidak boleh mengurus padi di sawah dan di hari Senin sama sekali tidak boleh berhubungan dengan padi, baik di sawah maupun di rumah, nutu (menumbuk padi) misalnya,”paparnya.
Namun semua aturan yang pernah diwariskan itu sudah banyak yang dilanggar, diantaranya, tidak menanam padi berumur pendek seperti varitas sekarang ini, padahal leluhur kami mewajibkan menanam jenis padi Sri Kuning, Pare Beureum Cempa, Kewal, Raja Wesi, Limar serta Ketang Gado yang umurnya diatas 5 hingga 7 bulan. Hal ini, lanjut Abah Kardi sangat berkaitan dengan kesuburan alam, juga padi tidak boleh diheueleur, masih mengurus padi di hari Jumat dan Senin serta yang lainnya.
“Beberapa dari kami (kasepuhan) sudah melakukan itu. Apa yang diwariskan para leluhur sudah banyak yang dilanggar. Dahulu warga kami menolak beras raskin, sekarang ini malah berebut,” ujarnya. Ukar berharap pihak Pemkab Bogor segera turun tangan mengatasi hal tersebut. Diantaranya dengan mengembalikan Kampung Urug menjadi kampung adat sesungguhnya. Caranya dengan menjadikan Kampung Urug sebagai plasma nuftah varitas padi yang sekarang ini masih ada. Agar kelestarian benih padi tetap terjaga.
“Seperti di wilayah Cianjur yang mengharuskan menanam padi varitas tertentu dan dibeli dengan harga mahal,”pungkasnya. Namun tudingan dari Abah Ukar itu ditepisa Kasepuhan Cipatat Kolot, Abah Memed. Menurutnya khusus untuk dirinya, padi masih ditumbuk, walaupun sudah tidak banyak lagi yang mau menumbuk padi.
Sementara itu. Sekdes Urug Chandra mengungkapkan bahwa pihak Pemerintahan Desa sudah mengupayakan agar para kasepuhan menanam padi varitas asal dan menanam serempak. Saat dlkumpulkan di kantor desa , mereka sepakat, namun dalam prakteknya tetap saja tidak sama tergantung ego mereka masing-masing.
“Terus terang saja sebagai generasi muda yang lahir dan besar di Kampung Urug, saya merasa sangat prihatin kalau sebutan kampung budaya hanya sebatas papan nama saja, ruhnya sudah hilang tergerus jaman,”pungkasnya. (Dadang HP)