NEWS TICKER

Citizen Journalism

Dari Desa

Pariwara

Hukum

Kriminal

Ekobis

Otomotif

Teknologi

Twitter


Minggu, 24 Januari 2016

ESAI : Peran Pelayan Perempuan dalam Teks Sastra

Oleh : Hilda Septriani (*)


Pada zaman sekarang perempuan menjadi objek yang banyak diteliti dalam menganalisis sebuah karya sastra. Hal ini tampak berkembang dari kedudukan seorang perempuan yang hanya dipandang sebelah mata bahkan cenderung dikesampingkan keberadaannya dalam teks sastra. Berbicara tentang perempuan maka tidak lepas dari peran dan pengaruhnya yang diterima sebagai konsep yang umum bahwa perempuan ditempatkan pada posisi subordinat jika dilihat dari sejarah kebudayaan yang sudah melekat sejak zaman penjajahan Belanda. 

Perempuan hanya ditempatkan menjadi pelayan rumah tangga yang kewajibannya tidak pernah berhenti mulai dari ia membuka mata sampai menutup mata di malam hari seperti mencuci baju, membereskan rumah, mengantar anak majikannya ke sekolah, memasak bahkan sampai mendengarkan curhatan majikannya pun menjadi kewajibannya yang tidak boleh ia bantah. Menjadi seorang pelayan sebenarnya bukan pilihan tetapi keharusan karena pada kenyataannya tokoh yang digambarkan dalam kedua karya sastra yang akan dibahas lebih lanjut ini tidak diberikan pilihan selain menjadi seseorang yang harus mengabdi dan menuruti segala titah majikannya.

Selanjutnya perlu dikerucutkan kembali bahwa fokus bahasan yang akan penulis teliti dalam novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dengan Cerpen Sagra karya Oka Rusmini yakni bertolak pada representasi tokoh “Bujang / si Mbok” dengan tokoh Sagra yang digambarkan sebagai seorang perempuan yang menjalani tugasnya sebagai pelayan rumah tangga di keluarga bangsawan yang terhormat dengan sangat taat. 

Permasalahan yang menjadi titik awal dari kedua karya sastra ini yaitu isu kelas sosial yang ada pada kebudayaan Jawa (Gadis Pantai) dan Bali (Sagra). Tokoh Bujang dan Sagra juga pada akhirnya terkena imbas dari penggolongan strata sosial yang ada di masyarakat dalam karya sastra tersebut karena dengan hanya menjadi seorang pelayan berarti mereka menduduki kelas sosial yang paling rendah atau dalam kebudayaan Bali dikenal dengan nama kasta Sudra. Si Bujang dan Sagra juga diimplisitkan tidak mempunyai kekuasaan atas dirinya sendiri karena seolah-olah kewenangan yang ada pada dirinya telah mereka serahkan sejak mereka menempati kedudukan sebagai seorang pelayan rumah tangga.
Berangkat dari persoalan ini lah penulis mencoba untuk meneliti persamaan dan perbedaan yang digambarkan dalam novel Gadis Pantai dan cerpen Sagra dari sudut pandang seorang pelayan yang ada dalam kedua teks sastra tersebut. Dalam novel Gadis Pantai diceritakan ada seorang gadis remaja yang “dipaksa” menikah oleh orang tuanya dengan seorang priyayi atau bendoro yang dianggap terhormat di kampungnya. Pada awalnya gadis pantai menolak, namun ia terpaksa menuruti keinginan orang tuanya karena tidak mempunyai kebebasan menentukan jalan hidupnya sendiri. Gadis pantai pun tinggal di rumah priyayi yang kini telah menjadi suaminya itu dan ia mulai membiasakan diri menjadi seorang bendoro putri. Setiap hari ia ditemani dan dibimbing oleh seorang wanita paruh baya yang kemudian ia panggil dengan sebutan si Mbok.

Si Mbok ini lah yang kemudian berperan besar dalam kehidupan Gadis Pantai di dalam sangkar emas milik bendoro
Mas Nganten wajib tetap ingat, mak.” Bujang itu memperingatkan, “wanita utama harus belajar berhati teguh, kendalikan segala perasaan dengan bibir tetap tersenyum.” (Hal. 44)

Kutipan di atas menggambarkan bahwa si Mbok memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas yang ia bagikan kepada majikan barunya tersebut guna mendidik majikannya menjadi pribadi yang lebih baik. Nasihatnya ini dibagikan olehnya karena si Mbok sudah makan asam garam kehidupan terlebih dahulu daripada gadis pantai.  Hal ini juga kemudian digambarkan dalam cerpen Sagra yakni: 
Tugus masih marah? Sini Meme beri tahu. Tugus dengarkan Meme ya, Tugus sekarang sudah besar. Waktu Tugus seusia Tugeg Prami, tamu yang datang menengok Tugus juga banyak.” (Hal. 114) 

Peran Sagra nampaknya juga bukan hanya seorang pelayan saja tetapi lebih dari itu ia ikut menanamkan nilai-nilai kehidupan untuk anak majikannya yang sudah dianggapnya sebagai anak kandungnya sendiri karena hubungan kedekatan mereka yang sudah sangat dekat dan tidak dapat dipisahkan. Persamaan lainnya yakni yang paling mendasar bahwa tokoh pelayannya sama-sama perempuan dan mereka mempunyai tugas yang hampir sama yakni mengabdikan dirinya tanpa lelah kepada kaum bangsawan sesuai dengan latar belakang kebudayaan yang dikemas dalam kedua karya sastra tersebut. “Mengapa aku mesti diikuti terus, Mbok? >< Bukan sahaya mengikuti, Mas Nganten. Tugas sahaya hanya membantu (Hal. 45). Dalam cerpen Sagra pun tergambar kutipan serupa :
Hampir separuh usia Sagra diserahkan untuk mengasuh dan menjaga anak-anak keluarga Pidada. Anehnya, baru kali ini dia benar-benar merasa bahagia. Merasa memiliki anak yang sesungguhnya. Kehadiran Ide Bagus Yoga Saputra telah menghidupkan keperempuanan Sagra.” (Hal. 92)

Pengabdian menjadi harga mati bagi si Mbok maupun untuk Sagra. Mereka juga menyadari bahwa kedudukan mereka yang berasal dari kelas sosial yang paling rendah maka mereka juga sangat menjaga nilai kesopanan dan membatasi apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak pantas dilakukan oleh mereka. Hal ini tergambar dari salah satu kutipan dalam cerpen Sagra :
Jangan sembarangan merawat cucuku, Sagra. Kelak, dialah penerus dinasti Pidada. Dia yang akan mewarisi seluruh hotel yang kumiliki. Ajari dia menjadi bangsawan yang baik. Tugasmu hanya menjaganya dan memberinya pengertian bahwa dia adalah pewaris seluruh bentuk kejantanan laki-laki. Kasta, kutahu kelak tak ada artinya lagi. Tapi cucuku memiliki kesempurnaan laki-laki. Dia lahir sebagai bangsawan tertinggi di Bali, seorang Brahmana. Dia juga memiliki kekayaan luar biasa, hotel, restoran dan hampir setengah pulau ini miliknya. Aku tahu, sejak lahir cucuku menyukaimu. Kupilih kau untuk menjaganya, Sagra. Kau tau harus jaga juga kebangsawanannya. Jangan pernah makan satu piring dengannya. Jaga dia sebagai bangsawan. Jangan kotori darah birunya. Kau paham?” (hlm: 95)

Adapun dalam novel Gadis Pantai juga dikemukakan pandangan si Mbok terhadap rasa patuh dan santun yang ia miliki kepada bendoro tercermin dalam dialog yang diucapkannya: “Ssstt, Jangan keras-keras.” bujang memperingatkan emak. “Di sini yang boleh terdengar hanya suara pembesar yang datang bertamu ke mari. Dan Bendoro sendiri tentu.” (Hal.19) Si Mbok sangat menjaga nilai-nilai kesopanan dalam berkomunikasi dengan majikannya yaitu bendoro, bahkan ia mengumpamakan dirinya sebagai sahaya atau dikenal juga dengan sebutan budak.

Selain persamaan yang sudah penulis paparkan di atas, ada juga perbedaan yang muncul dalam kedua karya sastra tersebut seperti tokoh si Mbok yang dimunculkan dalam novel gadis pantai digambarkan sosok seorang wanita paruh baya yang sudah pernah menikah dua kali dan sudah berpengalaman sehingga ia tahu betul tindakan apa saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh “wanita utama”, dalam hal ini yakni gadis pantai yang baru saja dipersunting oleh bendoro yang disegani oleh rakyat di daerah tempat tinggalnya. Sedangkan tokoh Sagra dideskripsikan sebagai seorang perempuan cantik yang memiliki keindahan tubuh (jasmani) karena sebenarnya ia merupakan keturunan dari kaum bangsawan yang kaya raya.

Perbedaan selanjutnya yang penulis temukan ialah representasi seorang perempuan melalui tokoh si Mbok dalam novel Gadis Pantai ini harus tunduk bahkan menanggung perbuatan yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Si Mbok menjadi korban kelaliman penguasa yang otoriter dan bertindak sewenang-wenang. Ia diusir oleh bendoro karena menuduh para santri mencuri uang gadis pantai: 
“Kekurangan sahaya ialah...ialah...ialah karena sahaya terus berusaha setia pada Bendoro dan melakukan yang dijadikan kewajiban sahaya, karena itu sampai-sampai berani menggugat agus-agus bendoro-bendoro muda.” >< Pergi kau. Sekarang juga tak perlu injakkan kaki di rumah ini, jangan pula di pekarangannya.” >< Sahaya Bendoro.” (Hal. 119 - 120)

Perihal ini menjadi miris karena si Mbok hanya berusaha untuk membantu bendoro menemukan pencuri uang dari kamar bendoro tersebut, tetapi yang ia dapatkan justru perlakuan kasar dan pengusiran atas dirinya yang tidak berdaya itu. Lain halnya dengan yang diceritakan oleh cerpen Sagra, Sagra diminta untuk tetap tinggal di Griya untuk mengurus dan menemani Yoga, bocah lucu yang sudah dianggap sebagai anak kandungnya sendiri. “Tetaplah di sini, Sagra. Temani Yoga. Rawat dia seperti anakmu sendiri. Mulai sekarang, kau kuanggap bagian dari keluargaku!” (Hal. 118)
 
Dialog di atas diucapkan oleh Pidada, seorang bangsawan yang sangat dihormati di desa Sagra karena hartanya yang melimpah ruah. Sagra terhenyak saat itu karena sebelumnya belum pernah terpikirkan untuk hidup bersama dan berdampingan dengan keluarga bangsawan yang sudah jelas menduduki kelas sosial yang paling tinggi tingkatannya. Perbedaan nasib ini lah yang berbeda antara si Mbok dengan Sagra, jika si Mbok takdirnya harus diusir dari rumah bendoro maka sebaliknya Sagra dianggap menjadi bagian dari keluarga Pidada yang terhormat.

Adapun perbedaan yang paling menonjol yaitu latar kebudayaan yang diceritakan dalam novel Gadis Pantai yang sangat kental dengan budaya Jawa. Para priyayi yang hidup di zaman itu menjadi simbol terpeliharanya budaya setempat dengan sangat erat dan kokoh. Sedangkan kebudayaan yang melatar belakangi cerpen Sagra sudah sangat jelas yaitu Bali. Kebudayan di Bali dikenal dengan adanya perbedaan kasta atau kelas sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Permasalahan ini  juga lah yang menjadi isu yang banyak digambarkan dalam cerpen Sagra karya Oka Rusmini tersebut.



(*) Penulis kelahiran 12 September 1992 di Bogor. Saat ini tengah menempuh studi Magister Ilmu Sastra di Universitas Padjadjaran Bandung. No HP 085710727104

G+

Jika Anda menyukai Berita ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman berita setiap ada berita yang terbit di XPOS NEWS

Print Berita Diatas

Print PDF

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 XPOS NEWS
Share on Blogger Music Free Download. Powered byMadiqtera